Jumat, 30 April 2010

Koedoeboen Dituding Terlibat Kasus Pembebasan Lahan


Ambon - Mantan Bupati Maluku Tenggara (Malra) Herman Adrian Koedoeboen dituding terlihat kasus dugaan korupsi pembebasan lahan di Desa Kolser Kecamatan Kei Kecil tahun 2008 seluas 25 ha senilai Rp 5,5 miliar untuk membangunan infrastruktur.
Tudingan ini disampaikan Ketua Ikatan Putra Putri Indonesia (IPPI) Provinsi Maluku, Max Hehanussa kepada wartawan di Ambon, Kamis (29/4).
Hehanussa mengungkapkan, hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebutkan, kerugian negara dalam kasus sebesar Rp 5,5 miliar, karena tidak jelas keberadaan lahan itu.
"Banyak kejanggalan yang terjadi dalam pembebasan lahan milik keluarga Maturbongs tersebut," tandasnya.
Hehanussa mengatakan, Koedoeboen menyetujui pelepasan hak atas lahan seluas 25 hektar itu, saat dirinya tidak lagi menjabat sebagai Bupati Malra, karena telah mengundurkan diri pada tanggal 13 Mei 2008, yang digantikan oleh L Luhuyanan yang didukung dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.81/1553 tanggal 6 Juni 2008.
Menurutnya, pembelian tanah tersebut tidak sesuai dengan mekanisme penetapan APBD.
Dijelaskan, Koedoeboen bersama Sekretaris Daerah Malra mencairkan dana Rp 5,5 miliar mendahului penetapan APBD 2008, dan belum ada persetujuan DPRD Malra.
Pencairan dana tersebut merujuk pada surat Kooedoeboen Nomor 970/228 tertanggal 25 Januari 2008 kepada pimpinan PT Bank Maluku Cabang Tual.
Menurut Hehanussa, Koedoeboen telah mengabaikan kewenangan DPRD Malra yang memiliki hak budget. Saat itu, DPRD Malra hanya menyetujui Rp 2,5 miliar sebagaimana keputusan paripurna yang dibuktikan dengan risalah DPRD Kabupaten Malra tertanggal 25 Oktober 2007.
Kendati DPRD Malra melalui paripurna menyetujui Rp 2,5 miliar untuk membayar lahan seluas 25 ha itu, namun Koedoeboen tidak mengindahkan hasil keputusan tersebut dengan tetap melakukan pembelian tanah di Desa Kolser, padahal tanah tersebut bermasalah.
Koedoeboen selaku Bupati Malra melalui Sekda Nurdin Rahawarin bersama dengan Bendahara Rutin, J Ubro membayar kepada Marialdus Tahapary selaku kuasa hukum marga Maturbongs uang sebesar Rp 5,5 miliar untuk tanah 25 ha yang tidak jelas letaknya. Pembayaran tersebut dibuktikan dengan surat perintah pencairan dana (SP2D) Nomor 115/LS/SP2D/MT tanggal 10 Juni 2008.
Ketidakjelasan tanah ini tergambar di akte notaris yang ditandatangani oleh Crisdy Lewarissa sebagai pejabat pembuat akta tanah (PPAT) tanggal 5 Juni 2008 yang tidak mencantumkan luasan dan batas-batas tanah.
Dijelaskan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malra telah menyampaikan surat pengaduan dugaan adanya pemalsuan dan penipuan pada akta pelepasan hak atas tanah yang dibuat oleh notaris dan PPAT Crysdy Lewerissa atas akta Nomor 3 tanggal 5 Juni 2008 kepada Kapolres Malra tanggal 21 Januari 2010.
Hehanussa meminta Kepala Kejati Maluku Sugiharto untuk membentuk tim untuk mengusut kasus korupsi pembebasan lahan di Desa Kolser itu.
Ketua Yayasan Putra Matalete ini menantang Kejati Maluku untuk mengusut tuntas kasus korupsi dalam pembebasan lahan di Desa Kolser yang merugikan negara Rp 5,5 miliar berdasarkan hasil audit BPK RI tersebut.
Minta Koedoeboen Dinonaktifkan
Hehanussa juga meminta Kejati Maluku untuk tidak mendiamkan kasus korupsi di Kabupaten Malra yang dilaporkan Lembaga Penyelamat Pembangunan Maluku Tenggara (LP2MT), yang diduga turut melibatkan mantan Bupati Malra yang saat ini menjabat Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakjati) Maluku Herman Adrian Koedoeboen.
Untuk tidak menghambat proses pengusutan kasus dugaan korupsi di Malra, kata Hehanussa, harus ada langkah konkrit yang diambil Kepala Kejati Maluku Sugiharto, untuk menonaktifkan Koedoeboen dari jabatannya selaku Wakajati.
Hehanussa menegaskan, jika kasus ini tidak dituntaskan akan menimbulkan gejolak yang lebih besar, dan kantor Kejati Maluku akan kembali diduduki.
"Kita akan melawannya, dan kita membantu aparat penegak hukum untuk mengusutnya dengan menyampaikan bukti-bukti penyelewengan, namun jika lembaga penegak hukum juga tidak menindaklanjuti, maka harus dilakukan pressure, ujarnya.
Ketua Ikatan Putra Putri Indonesia (IPPI) Provinsi Maluku itu juga menjelaskan, komponen masyarakat Malra se-Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) telah melakukan aksi demonstrasi di Kejagung, dan pihak Kejagung telah berjanji akan mendalami laporan kasus tersebut.
Sejumlah kasus dugaan korupsi di Kabupaten Malra yang dilaporkan LP2MT antara lain kasus pengelolaan deposito dana abadi tidak memadai dan penyetoran penerimaan bunga deposito tidak sesuai ketentuan tahun 2007, dimana penyediaan dana deposito Pemerintah Kebupaten (Pemkab) Malra ditetapkan minimal sebesar Rp 10 miliar dan maksimal Rp 20 miliar per tahun.
Sesuai dengan surat Bupati Nomor 007/790 tanggal 12 Maret 2007 terjadi penambahan dana deposito sebesar Rp 40 miliar. Kemudian tanggal 14 Mei 2007 terjadi penambahan dana deposito sebesar Rp 15 miliar. Selanjutnya, tanggal 19 November 2007 terjadi penarikan deposito sebesar Rp 15 miliar.
Kebijakan penarikan deposito dana abadi ini dilakukan berdasarkan pertimbangan posisi keadaan kas daerah dan kebijakan bupati.
Kemudian, pekerjaan pemeliharaan berkala jalan hotmix ruas Jalan Tamangil-Weduar di Kecamatan Kei Besar, tidak dilaksanakan. Padahal anggaran yang berasal dari DAK Bidang Infrastruktur tahun 2007 sebesar Rp 3.275.000.000,- telah dikucurkan dan dilaksanakan oleh PT Karya Bumi Nasional Perkasa dengan nilai kontraknya sebesar Rp 3.197.775.000,- padahal hingga kini pekerjaan tersebut tidak terealisasi.
Selain itu, dugaan kasus pembebasan lahan pada Desa Kolser Kecamatan Kei Kecil untuk pembangunan infrastruktur tahun 2008 seluas kurang lebih 25 Ha dengan nilai anggarannya sebesar Rp 5.5 miliar. (siwalima)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar