Senin, 03 Mei 2010

Pemkab dan DPRD Malra Dukung Perjuangan Pemindahan Ibu kota Kabupaten Malra di Elat Kei Besar


Langgur, VP – Ketua Forum Percepatan Pembangunan Kei Besar ( FPPKB ), Djamaludin Koedoeboen, SH mengakui, Pemkab Malra dibawah Kepemimpinan Bupati Malra, Ir. Anderias Rentanubun dan Wakil Bupati, Drs. Yunus Serang beserta DPRD Malra mendukung perjuangan pemindahan ibu kota kabupaten Malra di Elat- Kei Besar. Namun ketika ditanya dukungan seperti apa yang diberikan kedua lembaga tersebut, Koedoeboen menyatakan secara tidak langsung Pemkab dan DPRD Malra mendukung perjuangan FPPKB, namun yang diinginkan adalah perjuangan propinsi Maluku Tenggara Raya, baru kemudian pemindahan ibu kota kabupaten Malra ke Elat – Kei Besar. “ secara tidak langsung mereka mendukung perjuangan kami, hanya saja yang diinginkan adalah perjuangan propinsi Maluku Tenggara Raya lebih dulu, yang bertentangan dengan aspirasi FPPKB “ ujar Koedoeboen kepada Vox Populi, senin kemarin ( 3/5 ).
Kata Koedoeboen, penempatan Langgur, sebagai ibu kota Kabupaten Malra belum final di Pempus, sebab sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah soal itu. “ ibu kota malra di langgur belum final, karena sampai saat ini belum ada PP tentang itu, kami sudah bertemu Mendagri bersama Komisi II DPR – RI mempertanyakan hal itu, bahkan Mendagri ketika ditanya tentang team gabungan Depdagri yang turun ke Malra untuk lakukan evaluasi tentang ibu kota kabupaten malra, saat itu kata Mendagri belum ada masuk laporan tentang itu “ ungkap Koedoeboen.
Ketua FPPKB mengaku, Pemkab dan DPRD Malra mendukung perjuangan mereka, namun wujud dukungan itu sampai saat ini belum kelihatan, sebab sesuai keinginan Pemda dan DPRD Malra pada beberapah kesempatan, seperti dilansir media, mereka menghendaki agar kabupaten malra tetap pindah setelah ada propinsi. “ kami tidak berada dalam konteks pandangan itu, sebab kapanpun kabupaten pindah, namun saat ini adalah kesempatan yang perlu didorong “ katanya.
Kata Koedoeboen, pemerintah daerah dan DPRD harus menyadari kalau mereka ada untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, sehingga apa yang menjadi aspirasi masyarakat Kei besar dan kei –kecil, bukan lahir begitu saja, namun itu melalui proses yang cukup panjang. “ kami kebetulan sebagai kanalisasi, yang ada di masyarakat, makanya kemarin kami buat jarring aspirasi rakyat, jajak pendapat dari desa ke desa, walaupun ada pihak tertentu berpandangan bahwa ini adalah kepentingan kelompok tertentu, namun kita semua ketahui kalau masyarakat di kei besar mendambakan pemerataan pembangunan, kesejatraan, aksebilitas transformasi, informasi dan transportasi, saya kira ini tidak bisa diterjamakan ini didorong atas dasar keinginan orang tertentu, tapi semua demi kepentingan masyarakat “ ungkapnya.
Koedoeboen, berharap kepada para wakil rakyat asal Kei Besar, agar jangan mengingkari komitmen mereka terdahap masyarakat. “ bagi kami dengan omong dan janji – janji itu bukan satu garansi bagi masyarakat  “ katanya. Dirinya menilai Pemkab Malra menggelar kegiatan Musrengbang di Kota Elat belum lama ini adalah langkah yang bagus, namun kata Koedoeboen hal itu juga harus dipertimbangkan bahwa bukankah, dengan adanya Musrengbang itu anggaran SPPD para pejabat daerah ke elat lebih besar, apakah pengaruh kegiatan itu untuk lima tahun mendatang, jangan hanya kamulflase, atau trik pemerintah untuk hibur masyarakat kei besar saat ini, lalu kemudian menderita untuk seterusnya. “ apalagi kami dengar nanti diadakan upacara 17 agustus mendatang di Kei Besar, itu bukan solusi, yang paling tepat adalah bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya, olehnya itu semua kebijakan pemerintah daerah harus terukur, terbaca, dan teruji “ tandasnya.
Menyoal tentang penempatan Langgur, sebagai ibu kota kabupaten Malra telah melalui proses dan tahapan yang cukup panjang, dimana sebelumnya sudah dilakukan study akademik untuk menilai kelayakan beberapah kecamatan yang nanti jadi ibu kota kabupaten, Djamaludin Koedoeboen mengatakan, tidak semestinya Pemkab Malra berkedok dibalik study akademik tersebut, memang benar pendekatan study kelayakan itu penting, namun dimungkinkan juga harus ada perubahan – perubahan cara pandang yang baru tentang bagaimana menata sebuah wilayah kabupaten. “ saya juga pernah dengar, ada study kelayakan itu, sebab tidak dblowup di media, apalagi masyarakat diajak untuk duduk bersama. Yang jadi pertanyaan kapan study itu dibuat, dan sejaumana keterlibatan masyarakat untuk mengetahui hak itu, jangan hanya sekedar kades atau siapa karena takut copot jabatan lalu semua mengamini hal itu, lalu pulang menyesal dan mengingkari akan suara hati yang sesungguhnya “ tutur Koedoeboen.
Ditegaskan, sesuai arahan Mendagri saat itu, ditegaskan kalau Presiden SBY pada setiap kesempatan rapat cabinet menegaskan kalau pemegang kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, sehingga apa menjadi kebutuhan rakyat, wajib hukumnya dilaksanakan pemerintah. “ kalau kita bawah ke daerah kita agak aneh, karena perda 02 tahun 2009 ditetapkan, setelah itu baru diadakan sosialisasi, jadi terbalik padahal sebelum perda disahkan, harus ada sosialisasi, jaring aspirasi rakyat, nant seperti apa pandangan masyarakat baru kembali diformat, dibawah ke DPRD lalu disidangkan disana “ tandas Koedoeboen penuh tanda Tanya. ( team vp )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar