Kamis, 03 Juni 2010

Warga Taar - Wab Ikrar Damai Dengan Sumpah Adat

Tradisi adat budaya kei, sebagai bentuk kearifan budaya lokal dalam menyelesaikan setiap konflik atau persoalan dengan acara sumpah adat atau lebih dikenal dengan sebutan angkat siri pinang kepada leluhur, untuk tetap menjaga kerukunan hidup dan kebersamaan antar masyarakat. ( dok. koran vox populi ) 
 
Vox Populi – Tual , Bentrok antar warga Desa Taar dengan  warga kompleks Perindustrian Un,kecamatan Dulah selatan kota Tual Maluku  yang sudah berlangsung   tiga kali, sejak bulan February hingga mei 2010, dengan menggunakan alat  perang tradisional,berupa parang,busur dan anak panah sehingga mengakibatkan beberapa rumah warga dan kios  pada komleks Perindustrian un, mengalami rusak berat, akhirnya berakhir dengan ikrar perdamaian antar kedua pihak lewat upacara ritual adat kei. Bentrok kedua kelompok masyarakat yang menyita perhatian public, menelan korban luka,baik akibat terkena alat tajam,mupun diduga terkena tembakan  aparat kepolisian dan Brimob setempat sudah saatnya diakhiri.
Seperti dilaporkan sebelumnya, konflik antar kedua warga itu,sempat meluas ke Desa Wab, Kecamatan Kei Kecil Barat, kabupaten Malra. Keterlibatan warga Desa Wab dalam konflik tersebut,karena beberapa warga Desa Wab yang tinggal di kompleks perindustrian Un Kota Tual, juga menjadi korban konflik. Hal ini menyebabkan  warga tidak menerima baik pengrusakan rumah yang dilakukan warga desa Taar,sebab warga Wab menilai konflik tersebut dipicu  persoalan pribadi.
Untuk diketahui, hubungan kekerabatan antar warga Desa Wab –Taar, dalam tatanan adat budaya Kei adalah hubungan pela.

Issu Penyerangan
Pasca konflik yang terjadi, merebak berbagai issu menyesatkan kalau warga Desa Wab bakal melakukan upaya balas dendam,  dengan melakukan penyerangan kepada warga desa Taar Kota Tual.  Hasil pantauan Vox Populi, Issu yang sengaja dihembuskan oleh kelompok masyarakat yang tidak bertanggungjawab tersebut, sempat membuat warga desa Taar tidak tenang, mereka lalu mempersiapkan diri dengan berbagai alat perang tradisionalnya untuk menjaga keamanan desanya, bahkan  puluhan anggota Brimob dengan senjata lengkap ditempatkan di perempatan wearhir atau tepatnya di pos jaga polisi lalulintas,untuk mencegat  kedatangan warga desa Wab,seperti yang diisukan.
Issu kedatangan warga Desa Wab ternyata benar, namun kedatangan mereka bukan untuk berperang, namun berupaya menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara damai. Beberapah toko adat, masyarakat, agama dan pemuda,mendatangi kapolres Malra,guna membicarakan prosesi perdamaian. Alhasilnya, perdamaian antar kedua warga desa tersebut  baru berlangsung senin sore (31/5) jam 15.00 wit di Desa Taar.
Acara perdamaian kedua desa dilakukan secara ritual adat, dan yang bertindak sebagai mediator atau penengah penyelesaian damai tersebut adalah Desa Ohoira. Pantauan Koran ini, menjelang proses perdamaian  di desa Taar,yang sebelumnya  direncanakan pukul 15.00 wit, namun diundurkan hingga pukul 17.00 wit baru dilaksanakan.
Ikrar damai, antar kedua warga kampung yang mayoritas memeluk agama Kristen protestan berlangsung penuh hikmah disertai isak tangis serta linangan air mata. Suasana haru dan sedih meliputi prosesi perdamaian itu, bahkan aparat Kepolisian Polres Malra dan Brimob yang selama ini terkuras tenaga dan waktu dalam menjaga suasana keamanan di kedua desa ikut terlarut dalam kesedihan.
Deraian air mata warga Desa Taar semakin menjadi,  disaat ratusan warga Desa Wab  yang sejak siang berkumpul dikediaman bapak Nelson  Kadmaer, mantan anggota DPRD Malra, berjalan kaki menuju desa Taar. Setibanya didesa Taar, tepat dipertigaan memasuki Taar,ratusan warga desa Wab dijemput oleh ribuan warga desa Taar, baik itu kaum bapak, Ibu ,wanita, kaum pria,para remaja dan anak- anak. 
Dalam acara awal prosesi adat perdamaian itu, lima orang tokoh adat dari desa Taar,menggunakan pakaian adat ( busana kei –red ) berada di depan warganya dan menyampaikan  doa adat dengan menggunakan bahasa daerah kei. Inti doa adat itu yakni, warga desa Taar mengucapkan selamat datang dan menerima kedatangan warga desa Wab di Taar,Doa tersebut disampaikan  Benyamin Tarantein, Hermanus  Tarantein, Elly Talaut,dan Petrus Battianan.
Usai doa adat, dilanjutkan prosesi Siri pinang ( Bour yaf-red) yang diserahkan Kepala Desa Taar, Hermanus Tarantein kepada pejabat kepala Desa Wab, John Rahakratat. Dengan penjemputan itu, kemudian seluruh warga berjalan kaki menuju Aula Desa Taar ( gedung bekas gereja lama jemaat taar-red),guna melanjutkan proses adat perdamaian. Sebelum tiba di aula desa Taar ,warga desa Wab  di sambut oleh beberapa Ibu asal Desa wab yang sudah berpuluh- puluh tahun tinggal di desa Taar,karena perkawinan.
pertemuan keluarga antar kedua warga kampung, berlangsung dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan, penuh hikmad, mereka saling berpelukan, mecucurkan air mata, diiringi dengungan lagu Gandong, sebagai pertanda mereka orang sudara yang tetap mengedepankan semangat ain ni ain.
Ikatan persaudaraan itu, diikrarkan ketika warga kedua kampung memasuki balai pertemuan, duduk beralas tikar. pertemuan keluarga tersebut dipimpin langsung Toko adat Desa Ohoira, yakni pejabat kepala Desa Ohoira, Zakarias Renjaan, kemudian dilanjutkan dengan acara penyampaian isi hati  ( fangnannan –red) dari tokoh masyarakat, dan adat kedua desa.
Pada Pukul 17.45 wit,  seluruh masyarakat keluar dari Balai Pertemuan menuju  ke tempat penanaman mas adat, yang merupakan simbol perdamaian antar kedua desa. Prosesi penanaman mas adat berlangsung di depan rumah kepala Desa Taar, sebelum dilaksanakan Proses penanaman mas adat, masyarakat mengumpulkan uang gobang   pada sebuah Loyang yang telah disediakan,kemudian uang tersebut di masukan bersama dengan  mas adat kei pada sebuah Loyang yang berisi air,kemudian doa adat yang disampaikan oleh toko  adat Desa Wab, Yonadap Elmas, setelah itu air tersebut digunakan untuk dipercikan kepada masyarakat yang ada saat acara tersebut.
Sejumlah uang gobang dan mas adatpun dibuang berhamburan kepada masyarakat,selanjutnya sisa uang gobang dan mas ditanam langsung    kepala Desa Wab, John Rahakratat dan Kades Taar, H Tarantein,pada sebuah lubang yang telah disiapkan,disaksikan toko adat desa Ohoira, Tidorus Renyaan.
Proses acara adat perdamaian kedua desa ini di akhiri dengan Doa yang dibawakan ibu pendeta Gereja Protestan Maluku ( GPM ) Desa Wab Pendeta Bertalike Lakburlawal.
Dengan dilaksanakan Prosesi perdamaian yang digelar secara ritual adat itu, maka warga Desa Wab dan Taar telah bersepakat mengakhiri konflik dan menempuh perdamaian. Apabila terjadi konflik susulan, maka itu  adalah masalah pribadi,tidak lagi menjadi masalah bersama  kedua desa,sehingga  akan berhadapan dengan pihak kepolisian setempat.
Acara Perdamaian ini hanya di hadiri oleh camat kei kecil barat,Gerson Rumheng,SH.sementara itu acara yang sama juga akan di laksanakan di desa Wab rabu kemarin (2/6) .( Oce Leisubun, Koran Vox Populi Malra )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar