Selasa, 19 April 2011

Proyek Gading Gaja di Ohoi Elaar Dipertanyakan Masyarakat

upacara pelepasan hawear ( sasi ) adat kei yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan masyarakat kepulauan kei sebagai satu kearifan lokal. upacara ini biasanya dilakukan dalam acara perdamaian antar kampung atau kelompok yang bertikai. ( dok. Koran Vox Populi Malra )


Vox Populi, Langgur – salah satu pemerhati adat dan budaya di Kepulauan Kei, Gerson Rahanubun, mempertanyakan pemugaran dan pembangunan tugu di Siran Siryen di Ohoi Elaar, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kabupaten malra, sebab proyek Dinas Pariwisata kabupaten Malra  itu dibangun sesuka hati, sehingga mengabaikan aspek dan budaya adat lokal masyarakat di kepulauan kei. “ proyek tersebut hanya kejar tagrget nilai proyek, mengabaikan nilai – nilai luhur budaya yang sudah tertanam sejak leluhur “ sesal Rahanubun dalam rilisnya kepada Vox Populi.
Rahanubun mempertanyakan, apakah dalam pembuatan gambar rencana tugu, Ngabal, pihak konsultan perencana bersama instansi terkait sudah berkonsultasi dengan tokoh – tokoh adat khususnya Ur Siw, selain itu dalam pelaksanaan proyek tersebut, ketika peletakan batu pertama apakah seluruh ahli waris dari tokoh adat Ur Siw hadir atau sekurang – kurangnya diberitahu “ tanya Gerson Rahanubun.
Dia mengingatkan, Siran Siryen adalah Siran Loor, maka Loor Ra Nem Kabo Vusin Manan, Aleman, Kelmutun Mahiling. “ dari aspek filosofi, terdapat beberapa hal teknis yang perlu didiskusikan agar tidak berdampak kepada semua pihak yang secara teknis dan non teknis terlibat, misalnya VID ( pintu ), pada pagar ada pintu depan, maka harus ada pintu belakang, kalau hanya satu pintu, pasti semua yang baik dan jelek masuk keluar lewat satu pintu yang tentunya tidak baik. ( afa bok sian na oho vid ain mehe ) “ tuturnya.
Rahanubun mengungkapkan, soal Siran Siryen, pada abad 14 berkumpul tokoh – tokoh adat dari Ur Siw dan Lor Lim serta utusan dari Dobo dan Seram di Ilaar ( Elaar ) untuk pemufukatan diberlakukanya hukum Larvul Ngabal di Nuhu Evav.
Pada saat itu kata dia, seekor kerbau disembeli sebagai tanda ( tet hukum ), atau putusan hukum, sehingga saat itu pula tokoh Kanar Hanurubun yang dijuluki Kanar Ur Siw mendapat beban berat yakni Na vaar Naa ngaban Mel ni Ngabal naa ngaban Balit. ( Kanar Ur Siw sebagai Rat Famur Danar memikul Hukum Larvul Ngabal pada pundak kanan dan hukum Ngabal pada pundak kiri ). “ sejarah mencatat bahwa yang disembeli adalah kerbau, maka selanjutnya kerbau tersebut disebut kerbau Siw “ ujar Rahanubun. Dia sangat menyesalkan proyek Tugu Larvul di Siran Siryen, sebab disitu tidak satupun ornamen yang menunjukan unsur kerbau pada tugu tersebut, kalaupun ada yang menyerupai tanduk kerbau, maka pertanyaanya adalah mana kepala kerbaunya, dan apa benar tanduk kerbau berdiri tegak ? bagaimana dengan penataan tanduk kerbau di tanah Toraja, tidak harus sama tapi dapat dijadikan referensi “ sesalnya.
Dirinya juga mempertanyakan ornamen mana yang menunjukan unsur Ur Siw pada tugu tersebut. “ kalau saya saja keberatan, apalagi para leluhur yang mempunyai hak cipta ( kwas hukum adat ), pasti lebih kecewa “ katanya.
Gerson Rahanubun minta, agar tugu itu diredesain ulang, pihak konsultan harus banyak berdiskusi dan konsultasi dengan tokoh – tokoh adat dari UR Siw agar lebih baik dan diterima semua pihak. “ kalau tugu itu dipertahankan, maka namanya bukan lagi tugu Larvul tapi sebut saja Gading gaja di Siran Siryen karena hanya gading maka  hanya gading gaja yang diletakan berdiri sekalipun untuk hiasan “ pintahnya.
Sampai saat ini Kadis Pariwisata, Ir. L. Retraubun belum dapat dikonfirmasi terkait hal ini. ( Nery Rahabav, Koran Vox Populi  )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar