Bupati Malra, Ir. Anderias Rentanubun ketika diterima secara adat di Ohoi Feer, acara adat rinin, dengan siraman air kelapa muda merupakan tradisi adat kei yang menyambut setiap kedatangan tamu yang datang dari luar. ( dok. Koran Vox Populi )
Vox Populi, Langgur – Fenomena pemasangan sasi ( hawear ) di bumi Larvul Ngabal beberapa tahun terakhir ini, selain membawah dampak positif, juga mengakibatkan dampak negatif atas pemasangan sasi bagi keberlangsungan pembangunan Kepulauan Kei di masa yang akan datang.
“ fenomena pemasangan hawear di penghujung tahun 2010 di Kabupaten Malra, entah setuju atau tidak setuju telah menampar wajah masyarakat adat Nuhu Evav, betapa tidak hawear dipasang pada 30 Desember 2010 dan pad hari Jumat 31 Desember 2010, sebeluma malam pergantian tahun, semua Hawear itu sudah dilepas, pertanyaanya berapa buah lela yang diberikan sebagai pengganti tiang sasi ( Hawear Ngain ) sehubungan dengan jumlah Hawear yang terpasang di sejumlah Kantor milik Pemerintah Daerah tersebut, kemudian pemangku adat siapa yang hadir sebagai saksi pada acara pembukaan Hawear, serta dibawah kemana dan disimpan dimana Hawear Balwirin yang masih segar daun kelapa mudahnya itu ( janur kuning ) “ tanya salah satu pemangku adat di daerah ini, Gerson Rahanubun dalam rilisnya kepada Vox Populi.
Menurut Rahanubun, peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kebudayaan setempat, demikian pula bagi masyarakat di Kepulauan Kei ( Nuhu Evav ), diktum leluhur tempo dulu diatas pentas kehidupan sehari – hari nyata dan alamia yaitu Hira Ni Natub Fo Ini, It Did Natub Fo It Did yang berarti miliki seseorang tetap miliknya, dan milik kita tetap milik kita. “ secara batinia mengandung pengakuan dan penghargaan, kesadaran, keluhuran, larangan, perbatasan, hak asasi dan hukum untuk jangan mencuri, merampok, merampas, memanipulasi, melecehkan serta menipu harta milik orang lain “ ungkapnya.
Kata dia, untuk melindungi, kepemilikan pribadi / seseorang atau umum, maka para leluhur ( teten Evav ) telah mewujudkan perlindungan itu kedalam satu tanda atau simbol yang diakui dan dipatuhi oleh semua orang kei. “ tanda larangan yang digunakan berupa daun kelapa muda ( janur kuning ) yang dianyam silang – menyilang pada pelepah daun kelapa, kemudian diikat pada sebatang kayu yang ditancapkan ke tanah dekat benda atau barang yang akan disasi, yang dalam bahasa kei ( Veve Evav ) disebut Hawear, yang kemudian dikenal luas dengan nama Hawear Balwirin “ tandas Rahanubun.
Diakui, masyarakat Evav tempo dulu masih hidup berkelompok dalam persekutuan kelompknya masing – masing dengan hukum lokalnya sendiri – sendiri, misalnya di desa Laar Itel ( kini Elaar ) ada hukum lokalnya Sasaktel, kemudian Desa Reli Badamas ( kini Matwair ) dengan hukum lokalnya Kot Fit atau Desa Dabraan, ( Danar ) dengan hukum lokalnya Yetomat Balwirin. “ hukum lokal itu sangat dihormati, dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakat setempat dalam kehidupan sehari – hari, namun seiring perjalanan waktu, maka pada abad 14 bertetapatan dengan permufakatan hukum Larvul Ngabal untuk diberlakukan di seluruh Kepulauan Kei, maka Hawear Balwirin diterima masyarakat adat Ur Siw Lor Lim, karena Hawear Balwirin merupakan bagian tak terpisahkan dari Hukum adat Larvul Ngabal “ jelas Rahanubun.
Kata dia, nama Balwirin berasal dari Wirin Bal Romlob yang adalah nama Wirin di desa Dabraan ( kini Danar ). “ wirin adalah daerah pesisir yang ditumbuhi banyak pohon kelapa dimana, lapis permukaan tanahnya berwarna hitam keabu – abuan yang tebalnya kurang lebih 20 cm, selebihnya adalah pasir putih “ ujarnya.
Dikatakan, daun kelapa muda ( janur kuning ), yang pertama kali diambil untuk membuat sasi ( hawear ), diambil dari pohon kelapa yang tumbuh di wirin Bal Rumlob, maka pada saat itulah Hawear itu diberi nama Hawear Balwirin, bukan Hawear Balwarin sebagaimana yang sering disebut – sebut orang selama ini.
Gerson Rahanubun menjelaskan, Hawear Balwirin, memiliki dua fungsi yaitu fungsi pidana, apabilah dua orang yang bertikai dakam skala besar seperti kerusuhan tahun 1999 lalu di Kei, maka perdamaian tersebut dilakukan dalam satu upacara adat yang dihadiri Rat, Orang Kai, Soa, Saniri dan pihak yang bermasalah. “ pemangku adat menyelesaikan perselisihan tersebut secara kekeluargaan, atas kesepakatan damai dan saling memaafkan antar kedua pihak. Perdamaian itu digelar dalam satu upacara ritual adat yang disebut Hawear Nam Sait, Ni Baran Nas Or artinya sasi ditarik terbelah dua, dan anak panah dilayangkan / dipanah ke udara. “ jelasnya.
Sedangkan fungsi perdata, kata Rahanubun, untuk melindungi harta benda pribadi atau umum misalnya kelapa, Lola, teripang dll. “ apabilah salah satu desa ingin kelapa disasi, maka terlebih dahulu diadakan musyawarah desa untuk menentukan waktu yang tepat untuk sasi da berapa lama sasi tersebut dipasang, sasi didirikan di tempat terbuka, agar semua orang dapat melihatnya, kurun waktu sasi didirikan sampai membukan sasi disebut Yetut “ urai Rahanubun. ( neri rahabav, Koran Vox Populi )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar