Ambon - Anggota DPR-RI asal Maluku, Edison Betaubun menilai Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dikriminasi dalam menuntaskan kasus korupsi dana asuransi DPRD Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) periode 1999-2004.
Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Minggu (15/5), Betaubun mengatakan, diskriminasi yang ditunjukkan Kejati Maluku terlihat pada oknum-oknum yang terlibat dalam kasus ini, yang hingga kini belum juga diperiksa.
Betaubun mencontohkan, Walikota Tual MM Tamher dan Wakil Walikota Tual Adam Rahayaan, yang hingga kini belum juga diperiksa, padahal keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana asuransi DPRD Kabupaten Malra tahun 2002, sebesar Rp 1.410.000.000.
Menurutnya, berdasarkan KUHP tim penyidik memiliki kewenangan untuk memeriksa Tamher dan Rahayaan, jika selama 60 hari surat ijin pemeriksaan dari presiden tak juga keluar.
"Saya kira itu haknya kejati jika terhitung 60 hari surat ijin itu belum juga dikeluarkan, dan hal itu mesti segera dilakukan agar publik tidak menduga ada konspirasi terselubung yang sengaja dilakukan oleh pihak Kejati Maluku dengan kedua tersangka tersebut," tandas Betaubun.
Dikatakan, mestinya Kejati Maluku bersikap tegas dan tidak mendiskriminasikan para tersangka dalam kasus ini, karena aturannya jelas.
Kendati Tamher dan Rahayaan telah mengembalikan uang yang dikorupsi ke negara, bukan berarti mereka tidak diproses hukum.
"Jika keduanya telah telah mengembalikan dana asuransi yang mereka terima, namun bukan berarti dapat menghapus tindak pidana korupsi yang dilakukan, tetapi mungkin saja itikad baiknya untuk mengembalikan uang korupsi tersebut bisa meringankan hukumannya," jelasnya.
Menurut Betaubun, mantan Bupati Malra, Herman Kordoeboen juga harus dipanggil dan diperiksa. Pasalnya, yang bersangkutan juga menyetujui pencairan dana asuransi itu.
"Saya melihat ada ketidakberesan yang terjadi dalam penanganan kasus ini, padahal bupati itu juga sangat bertanggung jawab dalam pencairan dana asuransi tersebut karena beliau juga menyetujuinya," ujarnya.
Betaubun menegaskan, jika pihak kejaksaan tidak segera memeriksa Koedoeboen maka terkesan ada perlindungan hukum yang sengaja dilakukan terhadap mantan Wakati Maluku itu.
"Jika itu terus terjadi, maka sama saja dengan menghancurkan Korps Adhiyaksa di mata publik," tandasnya.
Betaubun juga meminta agar mantan Wakil Direktur Direktorat Lalu Lintas Polda Maluku AKBP Hengky Oraplean, serta perwira TNI yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini juga segera ditahan agar tidak terkesan ada perlakuan istimewa terhadap kedua tersangka ini karena status mereka juga sama dengan 14 mantan anggota DPRD Malra yang saat ini telah ditahan di Rutan Klas II A Ambon.
"Saya akan terus memantau penanganan kasus ini oleh pihak Kejati Maluku, tetapi yang terpenting adalah tidak ada yang diistimewakan dalam kasus ini, sehingga terkesan ada diskriminasi dan tebang pilih," pintanya.
Untuk diketahui, sebanyak 14 mantan anggota DPRD Malra periode 1999-2004 yang ditahan di Rutan Klas IIA Ambon, masing-masing Moses Savsavubun, Yohanis Wee, Fabianus Leo Rahanubun, Ruland Jufri Betaubun, Engelbertus Janwarin, Petrus Renyaan, Oscar Thontji Ohoiwutun, Alexander Wiliam Rahandra, Paulus Vence Topatubun dan Nelson Kadme.
Selanjutnya, Musa M Kwaitota, Herman Refra, Juliana M Komnaris. Kecuali HS Abdurahman yang diberi status tahanan kota, karena sakit.
Kejati Maluku juga telah memanggil lagi sembilan orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Wilhelmus Barends, Victor Savsavubun, Muchsin Awad Azis, Yoseph Uli Rahail, Ivo J. Ratuanak, Victor J. warat, Gainau de Games, Harry Sarkol dan HA Notanubun. Namun mereka belum juga memenuhi panggilan tersebut.
Untuk diketahui, dari hasil penyelidikan tim Kejati Maluku terungkap, dana asuransi tahun 2002 sebesar Rp 1.410.000.000, dibagikan kepada 35 anggota DPRD Malra. Dari jumlah 35 anggota DPRD Malra ini, 11 di antaranya adalah anggota antar waktu, yang menerima masing-masing Rp 30 juta. Sedangkan 24 anggota dewan lainnya, memperoleh Rp 45 juta per orang.
Sementara untuk tahun 2003, rata-rata anggota DPRD memperoleh Rp 135 juta per orang, sehingga totalnya sebesar Rp Rp 4.375.000.000.
Untuk tahun 2002 dan 2003 tidak ada polis asuransi. Di tahun 2004 baru ada polis asuransi yang preminya sebesar Rp 6.400.000 untuk jangka waktu lima tahun. Namun kenyataannya hanya tahun pertama yang disetor dan tahun-tahun berikutnya tidak disetor anggota DPRD. (Koran Siwalima Ambon, S-16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar