Selasa, 09 Februari 2010

Refleksi Hari Pers Nasional 9 Pebruari 2010 Pers Malra dan Kota Tual Antara Hidup Segan, Mati Tak Sudi

Nery Rahabav, Pemimpin Redaksi Koran Vox Populi Kabupaten Maluku Tenggara Refleksi Hari Pers Nasional 9 Pebruari 2010 Pers Malra dan Kota Tual Antara Hidup Segan, Mati Tak Sudi Oleh : Nery Rahabav Setiap tanggal 9 pebruari, insan Pers di Indonesia memperingati hari bersejarah tersebut dengan berbagai rangkaian kegiatan, namun bagi para jurnalis di kabupaten Malra dan Kota Tual, semenjak saya berkipra di daerah ini sampai sekarang, tak nampak adanya kegiatan yang dilaksanakan oleh para insan pers, lembaga yang peduli pers atau institusi lainya maupun masyarakat dalam menyambut hari kelahiran Pers tersebut. Jangankan buat kegiatan atau acara serimoni, ucapan selamat kepada para insan pers yang bekerja dan berkarya di kedua daerah ini tak pernah ada. Tidak diketahui apa yang menyelimuti wajah pers di daerah ini, sehingga hari kelahiranya itu selalu terlewatkan dan terabaikan begitu saja. Melalui peringatan hari Pers Nasional, 9 pebruari 2010, saya mengajak kita semua baik elemen masyarakat dan Pemerintah di kedua daerah ini, untuk mari kita refleksikan kembali semuanya itu sebagai bentuk bahan permenungan bersama. Semenjak saya bergelut di dunia jurnalistik, sejak tahun 1999 – sampai saat ini, sesuai pengamatan lapangan, Pers di daerah ini belum dianggap pemerintah sebagai mitra yang sejajar untuk bersama – sama mencapai tujuan bersama yakni kesejatraan rakyat. Pers masih dianggap sebelah mata, tidak bermoral dan beretika, tukang kritik, sering kebablasan serta tidak professional dalam menghasilkan karya – karya jurnalistik sesuai tugas dan fungsi pers serta kode etik jurnalastik. Bahkan lebih kronis lagi di mata masyarakat, pers dituding sebagai lahan mencari duit, atau lebih dikenal dengan istilah trend delapan enam ( 86 ), artinya ketika memperoleh informasi tentang satu kasus yang harus dipublikasikan kepada masyarakat, namun informasi tersebut ditutup rapat atau diselesaikan dibelakang meja. Sementara pertumbuhan pers atau media cetak lokal yang saat ini tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, ibarat hidup segan mati tak sudi, karena masih lemah, kurang modal, pengelolaan manajemen dan penggarapanya tidak bonafid, sehingga dinilai masih takuk mengupas dan menyuguhkan pemberitaan sesuai fakta secara blak – blakan. Saya bisa mengutip pernyataan Wapres Adam Malik, dimana suatu ketika berucap, bahwa sebagian besar pers di daerah keberadaanya lemah alias kurang gisi. Bahkan Jaksa Agung pernah menghimbau, agar para wartawan tidak melakukan ‘ korupsi berita ‘ : apa saja yang benar – benar ada silahkan, walaupun mesti menanggung resiko. Tugas, karya, jasa dan tanggungjawab pers sudah dipahami, namun saya mengamati Sembilan puluh Sembilan persen pers di Kabupaten malra dan Kota Tual tergolong lemah alis kurang gisi, seperti yang disampaikan Wapres Adam Malik. Musabab kurang gisi itu bisa dilihat dari kurangnya modal, manajemen yang tidak beres, penggarapan tak bonafid. Pers yang sehat tidak bakal terwujud selama persyaratan mutlak tersebut belum dipenuhi, walaupun demikian tidak bisa kita pungkiri, semangat dan daya juang pers di daerah ini untuk tetap hidup tidak luntur – luntur. Tiga pilar utama yakni pemerintah daerah, masyarakat dan pers di Malra dan Kota Tual sudah saatnya duduk bersama, menyatukan perspsi untuk mencapai tujuan bersama yakni menuju kesejatraan. Dalam penyelenggaraan komunikasi timbal – balik antara pemerintah dan masyarakat, pers merupakan media efektif. Sampai dimana hasil yang efektif tersebut, sangat tergantung dari pengertian kedua pemimpin di daerah ini. Sampai saat ini tercatat, sedikitnya lima belas media cetak dan elektronik lokal yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Malra dan Kota Tual. Kurang gisi yang dirasakan media cetak lokal tersebut, cukup terasa pahit dan memprihatinkan untuk menjadi bahan permenungan bersama. Semenjak kepemimpinan Bupati Malra, Herman Adrian Koedoeboen, SH, Pers di Malra dinilai sebagai tukang kritik pemerintah, sehingga pertumbuhan pers berjalan ditempat. Tercatat dalam lembaran sejarah, Pemerintah Kabupaten Malra, di massa Bupati Koedoeboen, kriminalisasi terhadap pers terjadi, ketika Bupati Malra itu terusik dengan pemberitaan Radio Siaran Swasta Gelora Tavlul, sehingga lewat Kepala Bagian Hukum, Bupati Koedoeboen mengeluarkan surat penutupan Radio Gelora Tavlul. Sementara catatan lainya, para insan Pers di kabupaten Malra, berhasil menggiring Sekretaris Daerah ( Sekda ) Malra waktu itu, Drs. Nurdin Rahawarin menduduki kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Tual, karena melakukan tindakan penghinaan terhadap institusi Pers. Rahawarin dimejahijaukan, karena mengeluarkan kata – kata penghinaan dengan menyebut “ wartawan kambing “. Pengadilan Negeri Tual saat itu memutuskan sekda malra, terbukti melakukan tindakan tidak menyenangkan, sehingga dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan kurungan. Sekarang, dengan adanya pemekaran Kota Tual, menjadi daerah otonom, sudah terbagi dua wilayah yakni kabupaten malra dan kota Tual. Dua pemimpin yang mengemban visi perubahan yakni Bupati Malra, Ir, Anderias Rentanubun dan Walikota Tual, Drs. Hi. M.M Tamher, dalam setiap kesempatan sebelum terpilih menjadi orang nomor satu di kedua wilayah itu, bertekad akan merubah paradigma yang ditinggalkan kepemimpinan terdahulu, namun selama setahun kepemimpinan mereka, sesuai hasil evaluasi dan pengamatan pers di kedua wilayah ini visi perubahan itu belum sepenuhnya terealisasi. Tidak diketahui, apa yang melatarbelakangi pemikiran kedua pemimpin yang merakyat itu, sehingga pertumbuhan pers yang begitu pesat di kedua daerah ini belum diposisikan sebagai mitra yang sejajar. Ini menjadi satu tanda tanya besar, apakah kehadiran pers menjadi beban atau momok bagi kepemimpinan mereka ? ataukah pers hanya dijadikan sebagai komoditas politik sesaat ?. Bravo hari Pers, semoga tetap jaya …….( penulis adalah Wartawan, Pemimpin Redaksi Koran Vox Populi di Kabupaten Malra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar